Rabu, 13 Agu 2025
  • Selamat Datang di Madrasah Kami - Madrasah Berbasis Pesantren - Mencetak generasi cerdas, Kreatif dan berbudi luhur

Menjawab Tuduhan Bid’ah terhadap Shalat Tarawih 20 Rakaat

Oleh: Ahmad Faozi, S.Psi., M.Pd.
Sekretaris PW PERGUNU DIY

Tarawih 20 Rakaat Berasal dari Ijma’ Sahabat, Bukan Bid’ah

Dalam Islam, bid’ah yang tercela adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat dan bertentangan dengan ajaran Rasulullah ﷺ serta para sahabatnya. Namun, praktik Tarawih 20 rakaat justru memiliki dasar yang kuat dari sahabat dan diterima oleh generasi berikutnya tanpa penolakan, sehingga tidak termasuk bid’ah yang dilarang.

Dalil dari Hadis Nabi ﷺ

“Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku.” (HR. Abu Dawud No. 4607, Tirmidzi No. 2676).

Karena Umar bin Khattab r.a. menetapkan 20 rakaat, dan para sahabat menerimanya, maka ini termasuk sunnah yang harus diikuti.

Jika Tarawih 20 Rakaat Dianggap Bid’ah, Maka Tarawih Itu Sendiri Juga Bid’ah

Sebagian kelompok menyatakan bahwa shalat Tarawih harus 8 rakaat karena Rasulullah ﷺ hanya melakukan shalat malam dalam jumlah tersebut. Namun, perlu dipahami bahwa:

  1. Shalat Tarawih berjamaah dalam jumlah tertentu baru ditetapkan di zaman Umar bin Khattab r.a.
  2. Jika Tarawih 20 rakaat dianggap bid’ah karena tidak dilakukan langsung oleh Rasulullah ﷺ, maka shalat Tarawih berjamaah juga harus dianggap bid’ah.

Kenapa?

  • Rasulullah ﷺ tidak pernah menentukan jumlah rakaat Tarawih dalam satu bulan penuh.
  • Rasulullah ﷺ pernah shalat malam berjamaah selama 3 malam di masjid, lalu berhenti karena khawatir dianggap wajib oleh umatnya. (HR. Bukhari No. 924, Muslim No. 761).
  • Setelah itu, tidak ada ketetapan dari Nabi ﷺ bahwa shalat Tarawih harus dilakukan secara berjamaah atau dengan jumlah tertentu.

Jika Tarawih 20 rakaat disebut bid’ah, maka shalat Tarawih sendiri juga harus dianggap bid’ah, karena tidak pernah dilakukan secara rutin oleh Rasulullah ﷺ dalam bentuk yang kita kenal sekarang.

Dalil dari Umar bin Khattab r.a. tentang Tarawih 20 Rakaat

Banyak riwayat menyebutkan bahwa Umar bin Khattab r.a. menetapkan shalat Tarawih berjamaah sebanyak 20 rakaat, dan tidak ada sahabat yang menolaknya.

Dalil dari Imam Malik dalam Al-Muwaththa’

“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata: Dahulu manusia pada zaman Umar bin Khattab shalat sebanyak 23 rakaat di bulan Ramadhan.” (Al-Muwaththa’, Hadis No. 250).

Dalil dari Imam Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra

“Dari As-Saib bin Yazid, ia berkata: ‘Di zaman Umar bin Khattab, mereka melaksanakan shalat Tarawih sebanyak 20 rakaat.'” (Sunan Al-Kubra, Imam Baihaqi, Juz 2, Hal. 496).

Jika ini adalah bid’ah, seharusnya ada sahabat yang menolaknya. Namun, seluruh sahabat menerima dan meneruskan praktik ini, menunjukkan bahwa ini adalah bagian dari sunnah yang berkembang, bukan bid’ah yang tercela.

Dalil Analogi yang Menguatkan Tarawih 20 Rakaat

  • Jika Tarawih 20 rakaat bid’ah, maka Mushaf Al-Qur’an Utsmani juga harus dianggap bid’ah. Rasulullah ﷺ tidak pernah membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tetapi Khalifah Abu Bakar dan Utsman melakukannya demi kemaslahatan umat.
  • Jika Tarawih 20 rakaat bid’ah, maka azan kedua shalat Jumat juga bid’ah. Pada zaman Rasulullah ﷺ, azan Jumat hanya satu kali, tetapi Khalifah Utsman bin Affan menambahkan azan kedua.
  • Jika Tarawih 20 rakaat bid’ah, maka shalat Tarawih berjamaah juga bid’ah. Rasulullah ﷺ tidak menetapkan jumlah rakaat tertentu dan tidak selalu melaksanakannya berjamaah.
  • Jika Tarawih 20 rakaat bid’ah, maka kodifikasi ilmu hadis juga bid’ah. Hadis baru dibukukan setelah generasi sahabat dan tabi’in demi menjaga kemurnian ajaran Islam.

Karena semua hal ini diterima dalam Islam, maka Tarawih 20 rakaat pun tidak bisa disebut bid’ah, karena berasal dari ijma’ sahabat dan memiliki maslahat bagi umat.

Pandangan Ulama NU tentang Shalat Tarawih 20 Rakaat

Di Indonesia, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), shalat Tarawih 20 rakaat adalah pendapat yang dipegang berdasarkan ijma’ sahabat dan ulama mazhab Syafi’i.

Pendapat Ulama NU

  1. KH. Hasyim Asy’ari dalam Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah menyatakan:
    “Tarawih 20 rakaat adalah ijma’ sahabat yang diteruskan oleh para ulama, dan wajib kita ikuti sebagai bagian dari Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin.”
  2. KH. Maimun Zubair dalam kitabnya menyebutkan:
    “Tarawih bukan hanya tentang jumlah rakaat, tetapi juga bagaimana kita mengikuti tradisi para sahabat yang telah disepakati.”
  3. KH. Ali Maksum (Krapyak) dalam Hujjah Ahlussunnah menjelaskan:
    “Orang yang menuduh Tarawih 20 rakaat sebagai bid’ah berarti telah menentang kesepakatan para sahabat dan ulama setelahnya.”

Kesimpulan

  • Shalat Tarawih 20 rakaat bukan bid’ah, tetapi bagian dari sunnah sahabat yang harus diikuti.
  • Menolak Tarawih 20 rakaat tetapi tetap menerima Tarawih berjamaah adalah sikap yang tidak konsisten.
  • Tarawih 20 rakaat memiliki dasar dari Umar bin Khattab r.a., diterima oleh para sahabat, dan diikuti oleh ulama sejak dulu hingga kini.

Dengan demikian, menjalankan shalat Tarawih 20 rakaat adalah bagian dari Sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ untuk diikuti.

KELUAR