Minggu, 10 Agu 2025
  • Selamat Datang di Madrasah Kami - Madrasah Berbasis Pesantren - Mencetak generasi cerdas, Kreatif dan berbudi luhur

Mlangi: Jejak Keilmuan dan Perjuangan Ulama di Tanah Jawa

Dusun Mlangi di Sleman, Yogyakarta, telah lama dikenal sebagai pusat keilmuan dan spiritualitas Islam Nusantara yang memiliki akar kuat dalam tradisi pesantren. Keberadaan desa ini tidak dapat dilepaskan dari sosok sentral Mbah Kyai Nur Iman, atau Bendoro Pangeran Hangebehi Sandiyo, seorang bangsawan keturunan Keraton Mataram yang memilih jalan dakwah, pendidikan, dan pengabdian kepada umat. Ia adalah anak dari Susuhunan Amangkurat IV dan saudara dari Sultan Hamengkubuwono I. Setelah menempuh pendidikan di Pesantren Gedangan Surabaya di bawah bimbingan Kyai Abdullah Muhsin, beliau kembali ke Jawa Tengah dan mendirikan pusat keilmuan Islam di desa yang kelak bernama Mlangi.

Kyai Nur Iman bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang intelektual yang menghasilkan karya-karya monumental. Kitab Taqwim yang disusunnya merupakan ringkasan ilmu nahwu (tata bahasa Arab) dengan pendekatan sistematis dan praktis. Berbeda dengan kitab-kitab nahwu lainnya yang bersifat syarah atau komentar, Taqwim berdiri sendiri sebagai karya asli untuk pembelajaran awal santri. Selain itu, beliau juga menulis kitab ilmu sharaf yang dikenal sebagai Sharaf Mlangi. Kitab ini disusun untuk menjelaskan perubahan bentuk kata dalam bahasa Arab, dengan pendekatan lokal seperti penggunaan bahasa Jawa agar lebih mudah dipahami. Karya terbesarnya adalah kitab al-Sani al-Matalib, sebuah kitab yang menggabungkan ilmu nahwu dengan tasawuf. Dalam kitab ini, struktur gramatika Arab tidak hanya dipahami secara teknis, tetapi juga sebagai sarana untuk mendalami aspek spiritual dan moral dalam Islam.

Di Pesantren Mlangi, tradisi keilmuan disandingkan dengan pembinaan spiritual. Praktik-praktik seperti tahlil, pembacaan sholawat Nariyah dan Tunjina, manakiban, barzanji, dan tahlil pitung leksa telah menjadi bagian dari kehidupan santri. Tradisi ini bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga sarana pendidikan karakter. Sejumlah naskah karya Mbah Kyai Nur Iman, seperti Taqwim dan Sharaf, masih tersimpan dengan baik oleh para dzurriyahnya, bahkan beberapa dalam bentuk tulisan tangan di atas kulit, menandakan usianya yang sangat tua dan berharga secara historis.

Santri-santri Pesantren Mlangi menyebar ke berbagai penjuru tanah air dan mendirikan pesantren-pesantren baru yang tetap terhubung secara sanad keilmuan dengan Kyai Nur Iman. Beberapa di antaranya adalah Pesantren Krapyak Yogyakarta, Tegalrejo Magelang, Kalibeber Wonosobo, dan Berjan Purworejo. Jejak keilmuan beliau juga sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter dan perjuangan Pangeran Diponegoro. Dua putra Kyai Nur Iman, yakni Kyai Taptojani dan Kyai Salim, merupakan guru utama bagi Diponegoro dalam bidang ilmu fiqih, tasawuf, dan sejarah Islam. Diponegoro pernah mondok langsung di Pesantren Mlangi untuk memperdalam pengetahuan agama dan spiritualitasnya sebelum memimpin Perang Jawa melawan kolonialisme Belanda.

Peran para ulama Mlangi tidak berhenti pada pembinaan ilmu. Mereka juga menjadi bagian penting dalam perlawanan terhadap penjajahan. Kyai Salim gugur sebagai syuhada dan dikenang sebagai Kyai Syahid, sementara Kyai Hasan Besari, yang merupakan bagian dari jejaring keilmuan Mlangi, ikut diasingkan bersama Pangeran Diponegoro setelah perang usai. Hal ini menunjukkan bahwa Pesantren Mlangi bukan hanya pusat pendidikan, tetapi juga benteng perlawanan spiritual dan ideologis terhadap penjajahan.

Warisan intelektual Kyai Nur Iman tetap relevan hingga kini. Nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah, madzhab Syafi’i, dan tasawuf sunni yang beliau tanamkan menjadi fondasi pendidikan karakter dalam sistem pesantren. Karya-karyanya seperti Taqwim, Sharaf Mlangi, dan al-Sani al-Matalib bukan hanya menjadi sumber belajar, tetapi juga membentuk pola pikir dan etos santri Nusantara.

Mbah Kyai Nur Iman telah mewariskan bukan hanya kitab dan ajaran, tetapi juga sistem, tradisi, dan keteladanan. Pesantren Mlangi adalah manifestasi dari visi besar beliau: mencetak generasi alim, berakhlak, dan siap mengabdi untuk umat dan bangsa. Sejarah mencatat bahwa dari tempat yang sunyi bernama Mlangi, telah lahir ilmu yang menyala dan perjuangan yang menggema.

Setelah Perang Diponegoro (1825–1830), banyak prajurit dan santri Pangeran Diponegoro yang memilih jalan dakwah dan pendidikan sebagai bentuk perlawanan spiritual terhadap penjajahan. Salah satunya adalah Kyai Nur Zaidin, seorang prajurit dan santri Pangeran Diponegoro yang berasal dari daerah Bulus, Bagelen, Kabupaten Purworejo. Beliau memiliki putra bernama Mbah Zamzam, yang kemudian mendirikan Pondok Pesantren Al-Anwar di Desa Bogangin, Banyumas, pada tahun 1925. Pondok pesantren ini menjadi pusat pendidikan Islam yang menekankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah dan telah melahirkan banyak ulama serta tokoh masyarakat. Kisah perjuangan dan dakwah para prajurit Diponegoro ini menunjukkan bahwa semangat perlawanan tidak hanya dilakukan di medan perang, tetapi juga melalui pendidikan dan penyebaran ilmu agama.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa meskipun Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi belum berdiri pada masa Kyai Nur Iman, nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang kelak menjadi fondasi NU telah ditanamkan dan diamalkan oleh para ulama dan santri pada masa itu. Semangat keilmuan, tasawuf, dan perjuangan melawan penjajahan yang diwariskan oleh Kyai Nur Iman dan para muridnya menjadi cikal bakal dari gerakan keagamaan yang kemudian terlembagakan dalam NU. Dengan demikian, meskipun istilah “NU” belum muncul, esensi dan ruh dari organisasi tersebut telah hidup dan berkembang dalam tradisi pesantren dan perjuangan para ulama terdahulu.

KELUAR